Ketika seseorang membuka toko online terpecaya dan menyiapkan fitur keranjang belanja di situsnya, maka harapan terbesarnya pastinya adalah agar konsumen tuntas melakukan pembelian. Tidak ada penjual yang cukup puas bila konsumennya hanya pilih item, klik ‘add to chart’, klik ‘checkout’, tapi tak pernah melakukan pembayaran.
Sayangnya, kebanyakan konsumen malah melakukan hal tersebut. Ya fakta di lapangan mengatakan kalau mayoritas pelanggan mengabaikan keranjang belanjanya setelah melihat halaman checkout. Pihak Institut Baymard bahkan menemukan kalau tingkat pengabaian keranjang belanja di toko online retail cukup tinggi, hampir 70%.
Tentu saja ada berbagai alasan mengapa konsumen tak sampai tuntas saat checkout. Bisa jadi karena mereka berubah pikiran, tapi bisa juga karena kesalahan penjual itu sendiri. Menindak-lanjuti fenomena ‘pengabaian konversi keranjang belanja’ ini, pihak Baymardpun menyelidiki penyebabnya.
Kalau Anda penasaran dengan kesalahan apa saja yang dilakukan penjual online di halaman checkout, maka berikut detilnya.
1. Toko Online hanya menampilkan biaya tambahan di halaman checkout
Coba bayangkan bagaimana perasaan konsumen bila ia melihat harga A untuk item yang dibelinya, lalu kemudian saat sampai di depan kasir, si penjual menyebutkan harga baru yang lebih mahal. Alasannya sih karena biaya ini-itu. Pasti kecewa bukan?!
Walaupun sang konsumen mungkin terlalu malu untuk membatalkan pembelian, ia pasti takkan kembali ke toko itu lagi suatu hari nanti. Intinya, pengalaman itu memmbuat ia merasa tertipu.
Sama halnya dengan toko online. Salah satu alasan paling umum mengapa konversi keranjang belanja tidak terjadi adalah karena terdapat perbedaan besar antara harga barang di etalase dengan yang ditayangkan di halaman checkout. Kalau bedanya tipis saja, mungkin konsumen masih mau menanggungnya, namun tidak bila biaya tambahan – ongkir, pajak, packing, dll – yang dibebankan terlalu tinggi.
Cara mengatasi hal ini tentunya adalah dengan bersikap transparan sejak awal. Ini artinya, penjual perlu menginformasikan biaya tambahan apa saja yang mungkin perlu dibayar konsumen sejak saat ia mulai menjelajahi halaman produk. Oleh karenanya ada baiknya setiap halaman produk dilengkapi dengan fitur tambahan seperti kalkulasi ongkir per daerah dan berat produk misalnya.
Dengan menginformasikan detil biaya tambahan sejak di halaman produk, yakni sebelum konsumen ‘add to chart’, maka penjual bisa mencegah gagalnya transaksi karena pembeli sudah tahu soal itu. Kurangnya transparansi bisa menghambat konsumen membeli produk yang sebenarnya mereka perlukan atau sukai.
Alternatif lain adalah dengan menyediakan fasilitas free ongkir. Agar tak terlalu berat, penjual bisa menentukan minimal nominal pembelanjaan sebagai syarat untuk menerima promo free ongkir tertentu.
2. Memaksa konsumen untuk membuat akun
Alasan kedua mengapa konsumen tidak melakukan konversi keranjang belanja adalah karena toko online mewajibkan mereka membuat akun (melakukan registrasi) agar bisa menuntaskan transaksi pembelian. Parahnya lagi, beberapa situs bahkan menuntut konsumennya melakukan verifikasi alamat email setelah membuat akun.
Tak mengapa kalau semua pembeli aktif menggunakan email, bagaimana dengan yang tidak? Akibat proses yang panjang sebelum membeli barang inilah, yang membuat 35% responden dari studi Baymard mundur dan batal membeli.
Agar tingkat konversi keranjang belanja tinggi, maka tawarkan beberapa opsi checkout pada konsumen, apakah mereka ingin checkout sebagai tamu ataukah member. Pilihan ini memudahkan konsumen baru yang tidak ingin menjadi member agar tetap bisa menyelesaikan transaksinya tanpa merasa ‘dipaksa’ untuk membuat akun.
Namun tentu saja saran ‘checkout sebagai tamu’ tidak bisa diterapkan ke semua bisnis, apalagi jika penjual menyediakan fasilitas seperti garansi tertentu, jaminan uang kembali, tukar barang, atau semacamnya. Semua ini jelas membutuhkan data konsumen yang hanya dapat dikumpulkan melalui akun member.
Jadi kalaupun konsumen harus membuat akun, maka solusinya adalah permudah prosesnya. Berikan mereka pilihan untuk mendaftar via akun sosial media. Dengan begitu, cukup sekali klik saja dan mereka sudah bisa menjadi anggota.
3. Membuat proses checkout terlalu rumit atau panjang di Toko Online
Menurut hasil studi Baymard, 27% responden mengaku mengabaikan keranjang belanjanya karena proses checkout yang bertele-tele. Proses panjang dan rumit yang dimaksud bisa seperti ini:
• Klik tombol ‘beli sekarang’ – barang masuk ke dalam keranjang
• Klik keranjang – terlihat item apa saja di dalamnya
• Klik ‘checkout’ dan ternyata setelah masuk halaman tersebut, mereka masih harus mengisi formulir pendaftaran yang jumlahnya banyak.
Tentu saja proses belanja semacam ini sangat melelahkan bukan?!
Karena gol penjual adalah agar konsumen tidak hanya berlangganan, namun juga senang saat berbelanja di tokonya, maka pangkas tahapan checkout yang tidak penting. Untuk ini, toko online bisa dilengkapi dengan fitur tambahan seperti “proses pesanan sekarang’ yang bila itu ditekan, maka langsung mengarah ke halaman checkout.
Idealnya, setiap toko sebaiknya memiliki 1 halaman checkout saja, dimana di dalamnya, pembeli bisa memeriksa ulang semua detil transaksi, mulai dari jenis kurir, alamat pengiriman, metode pembayaran, daftar item yang dibeli, dll.
Namun kalau tidak mungkin untuk merangkum semuanya dalam 1 halaman, maka berikan indikator agar konsumen tahu berapa tahap yang harus mereka lalui untuk bisa menyelesaikan transaksi. Dengan begitu, konsumen takkan frustrasi saat harus mengklik beberapa halaman saat checkout.
Saran lain adalah, kurangi jumlah formulir yang harus diisi saat transaksi. Cukup kumpulkan saja informasi pelanggan yang benar-benar penting. Untuk form nama misalnya, buat itu menjadi 1 kolom ketimbang membaginya menjadi 2 kolom, satu untuk nama depan dan lainnya nama belakang.
Dan agar proses checkout berjalan maksimal, desak konsumen untuk cepat membayar dengan cara membatasi waktu pembayaran dan/ atau menyederhanakan metodenya.
4. Memberikan kesan kurang dapat dipercaya di Toko Online
Karena konsumen tidak bisa melihat atau memegang barang yang ingin dibelinya, maka ia harus melakukan transaksi atas dasar percaya. Karenanya faktor kepercayaan ini memegang peranan penting di dunia e-commerce. Bahkan sekalipun konsumen percaya pada toko online tertentu, namun mereka pasti masih ragu untuk mencantumkan informasi bank ataupun data pribadi ke situs tersebut.
Ada pula konsumen yang tetap ragu meski toko online sudah mengantong sertifikat SSL. Mereka baru yakin ketika melihat simbol atau tanda tertentu. Menurut hasil studi Baymard, beberapa tanda yang bisa membangkitkan kepercayaan konsumen adalah Norton, McAfee, TRUSTe, BBB, serta Thawte. Dengan begitu, konsumen bisa yakin kalau semua informasi yang mereka tuliskan terjaga kerahasiaannya.
5. Menyediakan opsi metode pembayaran yang terlalu sedikit
Kurangnya opsi metode pembayaran membuat konsumen mengabaikan keranjang belanjanya. Pembayaran melalui kartu kredit misalnya, hanya bisa dilakukan oleh mereka yang mempunyainya saja. Konsumen lain yang tidak punya takkan bisa menuntaskan transaksi meskipun bila mereka menginginkannya.
Soal ini, penjual juga perlu tahu sasaran konsumen mereka dan apa saja metode pembayaran yang paling sering dipakai orang-orang tersebut. Sebagai contoh, konsumen di Amerika Serikat mungkin terbiasa dengan kartu kredit. Namun di Jerman, 60% kaum millennial lebih memilih menggunakan PayPal. Kalau konsumen China lebih memilih eWallets atau transfer bank secara online, maka beda lagi dengan warga Rusia yang suka debit dan credit card.
Kalau di Indonesia, sekarang sudah mulai terbiasa dengan virtual account dan credit card yang tadinya hanya lewat transfer antar bank. Dengan virtual account, pembeli lebih pasti dan tidak salah mengetik jumlah pembelian dan lebih aman. Karena penjual sudah pasti di verifikasi oleh pihak ke 3, yang dalam hal ini adalah pihak payment gateway service. Tapi sayangnya, hal ini belum dilakukan oleh kebanyakan pelaku UKM (Usaha Kecil dan Menengah)
Pihak Worldpay bahkan memprediksi kalau di tahun 2019 nanti, metode pembayaran eWallets bakal lebih populer dari kartu kredit. Solusinya, sediakan berbagai opsi metode pembayaran sehingga konsumen bisa memilih mana yang paling mudah untuk mereka. Anda sudah membaca 5 alasan utama yang menyebabkan konversi keranjang belanja tidak terjadi. Simak dan terapkan solusi yang disampaikan, dan niscaya tingkat konversi keranjang belanja di toko Anda akan lebih tinggi dibanding sebelumnya.